JAKARTA - Menurut data Kementerian Keuangan, realisasi belanja Pemerintah Pusat per akhir September 2025 sebesar Rp 1.589,9 triliun (59,7 persen). Sedangkan total realisasi APBD secara nasional Rp 851,19 triliun (62,93 persen).
Sebenarnya, realisasi tersebut secara empiris "normal-normal" saja. Pada tiga tahun terakhir, yakni 2024, 2023, dan 2022, persentase penyerapan anggaran belanja per September masing-masing 72 persen, 67 persen, dan 61,6 persen.
Relatif rendahnya penyerapan belanja per September 2025 bisa jadi karena tahun 2025 merupakan tahun pertama pemerintahan baru Presiden Prabowo Subianto.
Apa yang menjadi masalah? Kita memahami maksud dan keinginan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa: sebaiknya anggaran yang sudah disediakan “cair”, sehingga dapat menggerakkan ekonomi bahkan mendorong pertumbuhan ekonomi. Apalagi kemudian ternyata menurut Menteri Keuangan (20 Oktober 2025) ada dana pemerintah daerah menganggur di perbankan sekitar Rp 234 triliun. Antara lain, dana Pemda Jakarta Rp 14,6 triliun; Pemda Jawa Timur Rp 6,8 triliun; Pemda Jawa Barat Rp 4,17 triliun; Kabupaten Banjarbaru Rp 5,1 triliun; dan beberapa daerah lainnya.
Pernyataan Menteri Keuangan tersebut sontak mendapat berbagai respons dari para kepala daerah. Yang paling “hot” respons dari Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, bahkan sempat mengecek ke Kementerian Dalam Negeri dan Bank Indonesia (sebagai sumber data yang diungkap Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa). Setelah dari Bank Indonesia, Gubernur Jawa Barat mengungkapkan dana Pemerintah Jawa Barat di perbankan dalam bentuk giro hanya Rp 3,8 triliun per 30 September 2025. Berbeda dengan Gubernur Jawa Barat, Gubernur Jakarta Pramono Anung justru mengakui pernyataan Menteri Keuangan benar 1000 persen bahwa dana Pemerintah Jakarta ada di perbankan Rp 14,6 triliun.
Polemik mungkin lebih tepat disebut perdebatan antara Menteri Keuangan dengan pimpinan daerah sebenarnya baik adanya. Mengapa? Pertama, setiap pejabat telah melaksanakan fungsinya dengan benar. Menteri Keuangan dengan pernyataannya berarti melaksanakan fungsinya sebagai Pengelola Fiskal dan Bendahara Umum Negara sesuai Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Demikian juga para gubernur melaksanakan fungsinya sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah mengacu kepada kedua undang-undang yang disebut sebelumnya.
Kedua, tersirat keinginan Menteri Keuangan supaya ekonomi di daerah bergerak dan tumbuh lebih cepat. Ketiga, di kalangan kepala daerah terdapat kehati-hatian dalam penggunaan/pencairan uang milik daerah. Keempat, tumbuh kesadaran untuk melakukan cek dan ricek data ini perkembangan yang bagus, apalagi dilakukan secara terbuka. Data yang digunakan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa sahih adanya karena berdasarkan data Bank Indonesia per 30 September 2025 yang bersumber dari laporan bulanan setiap bank. Sedangkan kepala daerah mengacu kepada data Sistem Informasi Keuangan Daerah yang dikelola oleh Kementerian Dalam Negeri secara realtime. Sebenarnya uang milik daerah tersebut tidak ke mana-mana bukan juga tertimbun dan mengendap, melainkan tersimpan aman dalam Rekening Kas Daerah sesuai dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Mungkin yang lebih penting dicari akar masalahnya adalah mengapa daya serap anggaran yang sudah tersedia tersebut rendah?
Kalau dikelompokkan, ada empat penyebab lambatnya penyerapan anggaran.
Pertama, kebijakan anggaran yang berubah-ubah. Kepastian besaran pagu anggaran akan memudahkan kementerian/lembaga dan daerah merencanakan proses pelaksanaan program. Adanya kebijakan buka-tutup blokir atau pembintangan anggaran menyulitkan kementerian/lembaga dan daerah dalam percepatan proses penyerapan anggaran.
Kedua, regulasi ikutan berupa petunjuk pelaksanaan atau petunjuk tertulis harus secepatnya disampaikan ke pihak terkait. Termasuk ketentuan tentang pelaksanaan TKDN, sebaiknya betul-betul memperhatikan kondisi riil di lapangan. Demikian juga penerapan perubahan sistem Katalog Elektronik hendaknya dilakukan secara bertahap setelah melalui uji coba di lapangan.
Ketiga, perencanaan proyek harus dilakukan secara matang dengan mempertimbangkan sungguh-sungguh situasi dan kondisi wilayah setempat, termasuk tingkat kesulitan pengadaan tanah untuk proyek fisik. Demikian juga untuk pengadaan proyek IT seperti Chromebook, harus benar-benar melalui studi kelayakan yang tepat sehingga barang yang diadakan dapat berfungsi secara optimal di lapangan.
Keempat, sumber daya manusia di bidang pengadaan barang dan jasa jumlahnya terbatas. Saat ini relatif sulit mencari ASN yang bersedia menjadi Pejabat Pembuat Komitmen karena khawatir akan kasus hukum yang dapat menjerat mereka di kemudian hari. Di kalangan ASN bahkan terbentuk opini: bekerja benar pun kadang-kadang bisa terkena kasus hukum di kemudian hari.
Kelima, program yang bersifat capital expenditure, terutama infrastruktur yang kompleks baik secara teknis maupun administratif, realisasi anggarannya memang dilakukan sesuai tahapan penyelesaian kegiatan. Biasanya kegiatan sejenis inilah yang umumnya akan menyerap sebagian besar anggaran pada kuartal keempat atau akhir Desember.
Adakah Anggaran Dikembalikan?
Patut ditegaskan bahwa RUU Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang selanjutnya disahkan menjadi undang-undang merupakan keputusan politik anggaran “on paper”. Belum ada dananya. Pendanaan APBN bersumber dari penerimaan pajak, utang, serta sumber lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam konteks ini tepat sekali penjelasan Menteri Keuangan saat ditanya media tentang berita BGN disebut mengembalikan anggaran Rp 100 triliun. Ini kutipan jawaban Menteri Keuangan:
“Enggak, yang saya tahu dia (BGN) balikin Rp 100 triliun dari anggaran yang dia sempat minta, tapi belum dianggarkan betul, jadi sebetulnya uangnya belum ada.” (Media, 14 Oktober 2025)
Lantas, kalau belum ada uangnya, yang dikembalikan apa? Tapi mungkin semangatnya adalah kehati-hatian dalam pengelolaan anggaran. Itu bagus sekali. Namun, setiap entitas juga perlu hati-hati menyatakan ada partisipasi pihak tertentu, misalnya pengusaha dan sebagainya. Memang partisipasi masyarakat dalam pembangunan itu penting, tapi harus melalui mekanisme yang benar apakah hibah atau apa karena pada saat BPK RI melakukan pemeriksaan, biasanya akan ketahuan setiap pendanaan yang digunakan dan perolehan dalam bentuk aset (SPPG yang dibangun) juga harus dibukukan dan teridentifikasi dengan jelas.
Beberapa hal mungkin bisa dipertimbangkan untuk mempercepat proses penyerapan anggaran:
Pertama, penting adanya kepastian pagu anggaran. Perubahan anggaran sebaiknya hanya dilakukan sesuai mekanisme APBN Perubahan.
Kedua, perlu sertifikasi serta reward finansial dan kepangkatan untuk Pejabat Pembuat Komitmen.
Ketiga, perlu penjelasan atau sosialisasi yang bersifat preventif tentang red line yang betul-betul tidak boleh dilanggar oleh Pejabat Pembuat Komitmen dalam manajemen pengadaan barang dan jasa. Kegiatan ini dapat diinisiasi oleh Inspektur KL/daerah bersama Biro Hukum yang ada di setiap lembaga dan daerah.
Keempat, perlu payung regulasi teknis agar KL dan daerah dimungkinkan mempercepat dan memajukan waktu lelang proyek fisik sehingga penyerapan anggaran bisa dipercepat.
Kelima, bila ada pembaruan regulasi termasuk Katalog Elektronik, hendaknya tidak serta-merta dijalankan pada tahun berjalan. Perlu sosialisasi dan uji coba terlebih dahulu sebelum diberlakukan secara nasional. Pengalaman kebijakan CoreTax yang belum sepenuhnya aplikatif pada tahun lalu sudah cukup menjadi pelajaran bahwa penerapan teknologi baru memerlukan proses dan kepastian keandalannya di lapangan.
Insya Allah, penyerapan belanja pusat dan daerah semakin meningkat dan ekonomi tumbuh di atas 5,2 persen.
Oleh: Rizal Djalil
Penulis adalah Anggota Panitia Anggaran DPR RI 1999–2009, Eks Ketua BPK RI