Oleh: Agustia Gafar, S.H., M.H. (Anggota bidang hukum Himpunan Keluarga Kerinci Nasional dan anggota Ikatan Pemuda Kerinci Sungai Penuh).
Suaranernas.com.Kerinci,-Korupsi di Kabupaten Kerinci seolah tak pernah benar-benar mati, ia hanya berganti wajah. Dari tunjangan rumah dinas DPRD periode 2017–2021 hingga proyek Penerangan Jalan Umum (PJU) tahun anggaran 2023, benang merahnya sama: uang rakyat dijadikan bancakan, pejabat teknis dijadikan tumbal, sementara anggota DPRD (aktor utama di balik permainan) duduk manis tanpa tersentuh hukum.
*Luka Lama: Tunjangan Rumah Dinas DPRD*
Masih ingatkah dengan Kasus tunjangan rumah dinas DPRD Kerinci telah menelan kerugian negara hingga Rp4,9 miliar ? Dalam perjara ini Mantan Sekwan Adli, stafnya Benny, dan pihak ketiga Loly memang dijerat hukum. Namun, fakta persidangan membuktikan adanya aliran dana tunjangan yang juga dinikmati anggota DPRD. Ironisnya, meskipun 23 anggota dewan periode 2014–2019 dilaporkan karena diduga memberikan keterangan palsu, tidak satu pun dari mereka yang diproses secara hukum. Hukum hanya berhenti di lingkar teknis, sementara politisi yang menikmati kue anggaran tetap kebal.
Adli bahkan melawan. Ia menyeret 23 nama legislator ke ranah hukum, menuding mereka berbohong bahwa tidak pernah menerima tunjangan, padahal bukti di pengadilan menunjukkan sebaliknya. Pertanyaan publik pun menggema: apakah penegak hukum sengaja menutup mata terhadap para wakil rakyat ini, atau memang ada “kekuatan besar” yang melindungi mereka?
*Skandal Baru: Lampu PJU yang Redup*
Belum hilang dari ingatan publik soal rumah dinas, muncul skandal baru: proyek PJU senilai Rp5,5 miliar yang dipreteli menjadi 41 paket agar bisa ditunjuk langsung tanpa lelang. Hasil audit BPKP menyebut kerugian negara mencapai Rp2,7 miliar, hampir separuh dari anggaran. Sepuluh tersangka sudah ditetapkan, mulai dari Kadishub, pejabat UKPBJ, kontraktor, hingga seorang guru PPPK. Namun, lagi-lagi DPRD hanya disebut “berada di balik layar”.
Fakta lapangan menunjukkan proyek ini lahir dari pokok pikiran (pokir) para anggota DPRD, lengkap dengan dugaan fee 15 persen yang dibagikan. Tapi hingga kini, tak satu pun legislator dijadikan tersangka. Mereka hanya diperiksa sebagai saksi, seolah tak lebih dari penonton. Padahal publik tahu, tanpa campur tangan politisi, skandal PJU tak mungkin berjalan mulus.
*Jaksa Setengah Hati?*
Kedua kasus besar di Kerinci (tunjangan rumah dinas DPRD dan skandal PJU) menelanjangi wajah lembaga penegak hukum yang tampak tegas di depan kamera, tetapi gamang saat harus berhadapan dengan para legislator. Kejaksaan Negeri Sungai Penuh memang rajin menahan kepala dinas, pejabat teknis, kontraktor, bahkan seorang guru honorer yang dipinjam namanya. Namun ketika arah penyidikan menyentuh gedung dewan, keberanian itu mendadak redup.
Publik pun bertanya: mengapa jaksa seolah setengah hati? Apakah karena bukti tidak cukup, atau karena memang ada kompromi politik yang membelenggu langkah hukum? Pertanyaan ini semakin relevan ketika nama-nama anggota DPRD jelas disebut para tersangka dalam pemeriksaan yang digelar, tetapi hingga kini keberadaan nama tersebut hanya berstatus saksi. Jika alasan jaksa adalah “kurangnya bukti,” publik berhak curiga: bukti yang kurang, atau keberanian yang hilang?
Dalam kasus tunjangan rumah dinas, mantan Sekwan Adli bahkan nekat melaporkan 23 anggota DPRD yang diduga berbohong di hadapan penyidik. Bukankah itu sinyal kuat bahwa permainan legislatif jauh lebih besar daripada sekadar rekayasa administrasi seorang Sekwan? Namun Kejari tampak nyaman menjadikan Adli dan stafnya sebagai tersangka utama, seakan masalah sudah selesai dengan menjerat birokrat rendahan.
Begitu pula pada kasus PJU. Dari awal, proyek ini lahir dari pokok pikiran dewan. Fee proyek sebesar 15 persen disebut mengalir ke legislator. Namun hingga kini, tidak ada satu pun anggota DPRD yang dijadikan tersangka. Mereka seolah punya imunitas tak tertulis: boleh mengatur, boleh menikmati, asal bukan mereka yang masuk sel tahanan. Jika pola ini terus berlanjut, wajar bila masyarakat menilai Kejari hanya berfungsi sebagai tukang stempel hukum, bukan pemburu keadilan.
Ketakberanian jaksa menyentuh politisi hanya akan melanggengkan siklus impunitas. Korupsi di DPRD Kerinci akan terus berulang karena para pelakunya tahu hukum bisa ditundukkan. Efek jera tak pernah ada, yang muncul justru efek domino: legislator periode berikutnya akan meniru pola yang sama, dengan keyakinan mereka juga akan aman dari jerat hukum. Inilah wajah penegakan hukum yang tumpul ke atas: sibuk memenjarakan pelaksana teknis, tapi bertekuk lutut di hadapan para pemilik kursi politik.
Maka, pertanyaannya kini sederhana namun tajam: apakah Kejaksaan Negeri Sungai Penuh berani membuktikan dirinya sebagai institusi penegak hukum yang independen, ataukah akan terus menjadi lembaga setengah hati yang takut menyentuh dewan? Bila jawabannya adalah pilihan kedua, jangan salahkan publik bila menilai hukum di Kerinci sudah lama dijadikan alat pertunjukan, bukan jalan menuju keadilan.
*Uji Nyali yang Sesungguhnya*
Kasus tunjangan rumah dinas dan skandal PJU bukan sekadar perkara korupsi biasa. Keduanya adalah ujian integritas, ujian keberanian, dan ujian nyali bagi Kejaksaan Negeri Sungai Penuh. Di mata publik, persoalannya sudah jelas: akar masalah terletak pada dominasi dan permainan kotor anggota DPRD. Namun, sampai hari ini, jaksa masih sibuk menjerat pelaksana teknis, sementara para politisi hanya dipanggil sekadar memberi keterangan, lalu pulang tanpa beban.
Inilah uji nyali yang sesungguhnya. Apakah Kejari berani menembus tembok kebal legislatif dan menyeret para anggota dewan ke meja hijau, ataukah mereka akan tetap bersembunyi di balik retorika hukum prosedural? Masyarakat Kerinci tidak butuh lagi tontonan dramatis penangkapan ASN kecil-kecilan atau kontraktor kelas teri dengan rompi pink. Mereka menunggu langkah nyata: membongkar peran para legislator yang selama ini selalu aman di balik layar.
Jika Kejari Sungai Penuh memilih jalan aman, hanya mengurung pejabat teknis dan kontraktor, maka sejatinya mereka telah gagal menjalankan mandat publik. Karena korupsi di Kerinci bukan lahir dari inisiatif kontraktor atau ASN semata, melainkan dari skenario besar yang dirancang oleh mereka yang duduk di kursi empuk DPRD. Menjerat birokrat dan rekanan tanpa menyentuh anggota dewan hanyalah menebas ranting, sementara akar masalah tetap tumbuh subur.
Lebih dari itu, keberanian Kejari menyentuh politisi akan menjadi tolok ukur serius: apakah lembaga ini benar-benar bekerja untuk rakyat atau sekadar pelengkap dalam sandiwara hukum. Bila Kejari berani menetapkan anggota DPRD sebagai tersangka, maka pesan kuat akan bergema: tidak ada lagi “kebal hukum” di Kerinci. Namun bila mereka mundur, publik akan menyimpulkan satu hal: hukum di Kerinci bukan alat keadilan, melainkan panggung sandiwara yang menutupi pesta pora para wakil rakyat.
Inilah pertaruhan besar. Kejaksaan Negeri Sungai Penuh bukan sedang menghadapi kasus korupsi semata, melainkan ujian kepercayaan publik. Ujian nyali untuk membuktikan apakah mereka akan dicatat sebagai penegak hukum yang berani membongkar mafia anggaran, atau justru masuk sejarah sebagai jaksa-jaksa penakut yang tunduk pada elite politik. Dan rakyat Kerinci, sudah muak dikhianati.(Red)